Sport Motorcycles Motorcycle Modif Motorcycle News Beauty Motorcycles Sexy Motorcycle
Next motorcycles Racer Motorcycle Latest Motorcycle Old Motorcycles Sexy Bikers
Super motorcycles Motorcycle Performance Max Bikers Rallies Motorcycles Motorcycle Hot Girl

p

Tuesday, April 19, 2011

" WARTEG" di Amerika

Ihsan Magazine - Warteg sebenarnya singkatan dari Warung Tegal. Tapi, dewasa ini istilah “warteg” digunakan untuk menggambarkan warung nasi yang memasang harga yang sangat terjangkau oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah dan tentunya mengenyangkan. Warteg juga menjadi warung nasi favorit mahasiswa, terutama yang yang mendapat “uang bulanan” pas-pasan, seperti saya .



Warteg ala Amerika



Menjadi mahasiswa kembali setelah dua tahun bekerja membuat saya bernostalgia. Saya memang bukan mahasiswa strata satu seperti dulu lagi, yang setiap bulan menagih uang bulanan pada orang tua dan gemar “mengunjungi” warung makan yang harganya pas di kantong. Sekarang, saya mahasiswa strata dua dan kuliah di negeri orang. Meskipun demikian, saya merasa banyak kesamaan dalam kehidupan yang saya jalani sebagai mahasiswa saat ini dan dulu. Sebagai mahasiswa beasiswa, saya juga hidup dari uang bulanan yang dikirim oleh “orang tua asuh” (baca, pemberi dana beasiswa) saya. Saya juga harus irit karena uang bulanan yang dikirim memang pas-pasan. Sebagai mahasiswa yang harus irit, saya juga harus pergi ke warung nasi yang sesuai dengan isi kantong saya. Pilihan sayapun jatuh ke “warteg ala Amerika.”


Sebenarnya restoran ini merupakan restoran yang menyajikan menu masakan Taiwan dan atau Cina. Saya sebut warteg karena memang memenuhi kriteria sebuah warteg:


1. Harganya murah meriah dan porsinya banyak

Dengan 7 dollar (saja [Jangan dikonversi ke mata uang rupiah, ya? Di awal kedatangan saya ke Amerika, selalu setiap kali mengeluarkan uang saya mengkonversikannya ke rupiah dulu, yang membuat saya akhirnya gigit jari dan geleng-geleng kepala]), saya sudah bisa makan satu porsi penuh nasi, daging sapi, tahu, sayuran, dan minuman teh yang disebut “Pearl Tea.” [Pearl Tea ini mirip teh yang dicampur dengan susu yang ditambah dengan bulatan tepung beras berwarna hitam, yang membuat teh ini disebut teh mutiara]. Ada tambahan juga, kita bisa mengambil sup telur atau “egg soup” SEPUASNYA! (Sudah termasuk harga $ 7 tadi)



Nasi, tahu bumbu tauco, sambal, bistik sapi, tumis sayuran, semangkuk



Biasanya sekali makan di restoran Cina yang tergolong “murah,” saya harus merogoh kocek minimal $ 7 hanya untuk satu jenis makanan (belum termasuk minuman). Tentunya, jangan dibandingkan dengan masakan siap saji seperti McDonald yang jauh lebih murah, yang dengan membayar $1-2 saja biasanya kita sudah bisa makan burger ayam. Memang murah, tapi tetap restoran ini lebih murah dan tentunya lebih baik, karena porsinya banyak, makanannya masakan rumahan bukan makanan siap saji, dan tentunya ada nasi dan lauk pauk yang sangat khas Indonesia.



2. Nasi sebagai Makanan Pokok

Ketika memesan, penjual sudah otomatis memasukkan nasi ke dalam piring pembeli. Meskipun tidak ditanya “Satu porsi atau setengah?”seperti halnya ketika kita masuk warteg, nasi tetap menjadi makanan utama yang dimasukkan paling awal ke piring saji. Setelah itu, baru ditanya lauknya apa? Sangat Indonesia/”warteg-ist” kan?




Tubuh saya yang mini dengan ukuran perut mini tak sanggup menghabiskan semua makanan dan minuman ini, sayang sekali  (Untung saja bisa dibawa pulang)





Selain itu, seperti halnya di warteg, makanannya “diambilkan” oleh penjual. Pembeli tidak duduk menunggu pelayan datang atau memesan di kasir dan menunggu makanan siap seperti restoran-restoran siap saji. Selain kesamaan dalam makanan pokok, jenis luak-pauk yang disediakan pun memiliki banyak kesamaan dengan masakan Indonesia: ada ayam kecap, tahu bumbu tauco, bistik sapi, tumis sayuran, ayam goreng. Lebih dari itu, bumbu yang digunakan juga kurang lebih sama, sehingga rasanya cukup pas di lidah saya yang sudah sangat meng-”Indonesia.” Masakan Indonesia dan masakan Asia pada umumnya memang sangat bergantung pada bumbu-bumbu.


3. Seting/Layout-nya



Daftar menu makanannya panjang sekali, dengan antrian yang tak kalah panjangnya.



Mirip warteg, kan? Jenis makanan beserta harganya yang dipampang, benar-benar mengingatkan saya pada warteg.


“Warteg” ini memang murah meriah, tidaklah mengherankan, terutama saat jam makan siang, pembeli sampai antri. Tempat ini juga pastinya menjadi favorit mahasiswa yang kuliah di dekat area tersebut. Pembelinya memang mayoritas orang Asia, tapi “bule” juga banyak.

Saking banyaknya porsi yang diberikan, saya sampai tidak kuat menghabiskannya. Seharusnya dari awal saya minta agar nasinya jangan kebanyakan (biarpun harganya tetap sama, yang penting tidak mubazir). Karena itu pengalaman pertama, setidaknya kalau saya berkunjung lagi, saya akan menghindari agar jangan sampai makanannya terbuang.

Hidup di negara dengan taraf hidup yang lumayan tinggi memang menuntut kita yang beruang pas-pasan harus bisa mengatur keuangan sepintar mungkin. Sebenarnya lebih irit lagi kalau memasak (seperti yang memang biasanya saya lakukan hampir setiap hari). Tapi, ketika kita memang sangat sibuk atau kepepet, warung nasi jadi satu-satunya solusi. Agar tetap hemat, pilih-pilih juga warung nasi yang sesuai selera, mengenyangkan, dan sesuai dengan isi kantong, seperti “warteg ala Amerika” ini.




No comments:

Post a Comment