Ihsan Magazine - Membaca berita-berita tentang Libya, kebanyakan artikelnya terperangkap seakan menjadi juru bicara kepentingan Barat, mungkin secara tidak sadar, tetapi ada juga yang memang secara sadar dan terang-terangan mendukung intervensi AS/NATO dalam krisis di Libya ini. Sebagai alasan utamanya lebih karena Kolonel Muammar Khadafy sebagai pemimpin diktator. Kita kadang kurang sadar bahwa sifat dasar setiap pemerintahan adalah diktatorial.
Kalau menyebut sebuah negara yang “diktatorial” maka lambangnya adalah seseorang yang diktator. Kita mempunyai kecenderungan ingin menyingkirkan orang-orang yang disebut diktator. Namun, lawan dari kediktatoran yang kita kenal dengan nama sistem demokrasi mempunyai perangai yang tidak jauh berbeda, dibaliknya ada sekelompok orang-orang kuat dan kaya raya yang mendikte apa yang harus dikerjakan pemerintah. Jadi, sistem ini tidak mengenal seorang diktator, tetapi sekelompok diktator. Pemilihan Umum hanyalah untuk mengganti wajah atau penampilan dari kelompok diktator ini agar masyarakat tetap dalam kegelapan.
Kita ambil contoh Amerika Serikat dengan sebuah pertanyaan. Adakah perubahan kebijakan dengan digantinya Bush oleh Obama? Jawabannya: Tidak ada. Tidaklah sukar mengetahui kelompok oligarki yang berada dibalik kebijakan-kebijakan pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa di AS. Kepentingan Israel menjadi penerima keuntungan utama dalam kebijakan-kebijakan ekonomi dan berbagai operasi militer yang dilakukan AS. Dalam dasawarsa terakhir ini, agenda kelompok Neo-Konservatif dan kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan dengan Israel makin kentara dalam setiap kebijakan-kebijakan di AS. Lihatlah Obama sekarang melanjutkan kebijakan dua kebijakan pendahulunya. Pertama, minyak, dan Libya mempunyai cadangan yang besar, terbesar di benua Afrika. Kedua, mematangkan kebijakan “menyingsing masa baru Israel” yang terbebas dari beban masa lalu dengan menyiapkan hubungan baru dengan AS untuk “mengamankan dunia” seperti yang tertulis dalam “Project for a New American Century Study Group” tentang “A New Israeli Strategy Toward 2000” yang dipimpin oleh Richard Perle. Kebijakan ini bisa dipandang sebagai strategi operasional yang mengaitkan dengan kejadian-kejadian di kawasan Timur Tengah sesuai dengan semboyan “Israel yang bangga, makmur, kokoh, dan kuat” dapat “membentuk lingkungan strategisnya”.
Rangkaiannya bisa dilihat kalau berkilas balik ke tanggal 7 Desember 1988 dimana Presiden Mikhail Gorbachev menguraikan tentang perlunya sebuah “wujud konsensus universal” dengan apa yang ia sebut sebagai tata dunia baru. Presiden George Herbert Walker Bush (Bush I/Sepuh) menyebut krisis di Teluk Persia, yang membuat intervensi Amerika Serikat dengan “Operation Desert Storm/Operasi Badai Gurun Pasir”-nya, sebagai kesempatan untuk melangkah menuju “tata dunia baru”. Sejak saat itu, setiap presiden AS setelah Bush I termasuk Obama menyuarakan dengan rada konsisten, dengan caranya masing-masing, tentang gagasan “Tata Dunia Baru” yang melambangkan tujuan utamanya untuk menginternasionalkan kekuasaan di beberapa tangan oligarki dan menghabisi, dengan cara apapun, yang tidak setuju dengannya. Tepat delapan tahun setelah George W. Bush (Bush II) memerintahkan “Operation Iraqi Freedom/Operasi Pembebasan Irak,” Presiden Obama secara kejam membombardir Libya.
Benar rupanya bahwa sejarah mempunyai kebiasaan untuk berulang, sayangnya kita kurang memperhatikannya. Apa yang terjadi di Libya adalah sebuah ulangan yang tragis yang pernah terjadi di masa lalu. Kita pernah mendengar tentang “no-fly zone” sebelumnya, juga mendengar tentang “kejahatan kemanusiaan”, membunuh masyarakat sipil, juga melihat penistaan terhadap pemimpin suatu negara yang berdaulat karena ia sudah tidak dibutuhkan atau tidak disukai Barat.
Dan, minyak. Minyak, tentunya. Siapa yang tidak ingat tentang “senjata pemusnah massal” yang diyakinkan kepada dunia dimiliki Saddam Hussein? Tidakkah kita sadar. Kampanye propaganda besar-besaran sedang dilakukan media Barat terhadap Libya.
Revolusi Arab dilihat oleh Barat sebagai kesempatan untuk menyingkirkan duri yang sejak lama mengganggu gerak mereka. Berita-berita bohong dibiarkan menyebar dan dijadikan dalih untuk melawan pemerintahan Libya. Dahulu, Victor Ostrovsky, seorang pembelot dari dinas intelijen Mossad yang sekarang tinggal di Kanada, pernah membocorkan bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Libya sebenarnya adalah fitnah yang dikerjakan oleh operasi intelijen Israel.
Pertanyaan di awal krisis Libya adalah, apakah Libya menggunakan pesawat tempurnya untuk melawan pengunjuk rasa yang damai atau melawan paramiliter yang bersenjata berat yang menggempur fasilitas-fasilitas pemerintah? Dari gambar-gambar di media massa tampak bahwa Libya tidak sedang berhadapan dengan pengunjuk rasa damai tetapi dengan sebuah insurjensi yang bersenjata berat, siap perang dengan tujuan menggulingkan pemerintahannya.
Lalu, standar ganda yang kasat sekali bukan terletak pada bagaimana Bahrain diperlakukan berbeda dengan Libya, tetapi sebagaimana Amerika Serikat memberikan hak kepada dirinya untuk menggunakan kekuatan udara untuk membantai oposisi bersenjata (bersama dengan masyarakat sipil yang tidak berdosa) di Afghanistan dan Irak (yang mereka duduki secara tidak sah), dan ini belum termasuk apa yang mereka kerjakan di Pakistan dengan pesawat intai tak berawaknya (yang telah melanggar berbagai hukum internasional), tetapi menolak hak Libya untuk melakukan hal yang sama walau Libya secara sah dapat melakukannya. Bagaimana reaksi Amerika Serikat, Inggris dan Perancis jika insurjensi domestik yang bersenjata berat dan didukung negara asing menyerang fasilitas militer dan pemerintahan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan mereka?
Kini, pemberontak bersenjata yang membunuh penduduk yang dianggap sebagai pendukung Khadafy, yang juga memburu dan membantai warga negara Libya yang berkulit hitam (yang mereka tuduhkan sebagai “tentara bayaran”) di puja di persuratkabaran Barat sebagai “revolusioner”, “pengunjuk rasa”, “demokrat” dan “pejuang kemerdekaan”.
Gerombolan bersenjata dari Benghazi ini dijadikan sosok yang romantis dimana setiap pernyataan mereka disanjungkan sebagai suara rakyat Libya sejati. Namun kenyataannya tidak demikian, Khadafy bisa mengumpulkan dukungan militer dan rakyatnya untuk memukul mundur pemberontak ke arah timur.
Libya bukanlah Tunisia, Mesir atau juga Yemen melainkan negeri dengan penduduknya yang unik yang merupakan gabungan dari Arab dan Afrika. Kolonel Khadafy berusaha keras dengan dukungan daya dan upaya untuk pengembangan Uni-Afrika yang membedakannya dengan negeri-negeri Arab di Afrika Utara lainnya. Dia mendukung Afrika yang merdeka dan bersatu.
Libya mendukung perjuangan bersenjata menuju kemerdekaan Afrika Selatan secara konsisten ketika Barat tanpa malu mendukung dan mempersenjatai rejim apartheid yang rasis, yang lebih banyak membunuh warganya dalam kebijakan represif yang berlarut-larut daripada yang disangkakan kepada Libya. Oleh sebab itu, Nelson Mandela memberi dukungan kepada Kolonel Muammar Khaday. Bukan hanya dia, tokoh-tokoh kulit hitam di AS pun mendukung Khadafy, seperti Dedon Kamathi, Glen Ford, Don Debar, Wayne Madsen, Nkrumah, J.R. Valrey, Bob Fitrakis, Keith Harmon Snow, and Malcolm Shabazz, Pat Hill dan lainnya. Pemberontak di Libya membawa ideologi yang sama dengan gerombolan Benghazi yang melakukan pembunuhan berencana terhadap ribuan imigran kulit hitam di tahun 2000, walau demikian media Barat menggambarkan mereka sebagai demokrat, bergerak dengan gagah menuju negara impian.
Yang tidak diungkapkan media Barat adalah revolusi yang dilakukan Muammar Khadafy di Libya telah membawa layanan kesehatan dan pendidikan yang gratis untuk rakyat Libya. Perumahan yang disubsidi. Pelajar dan mahasiswa Libya bisa memilih untuk belajar di dalam atau luar negeri sementara pemerintah memberi mereka uang saku ketika mereka bersekolah dan ditanggung biaya sekolahnya. Jika warga Libya membutuhkan perawatan kesehatan atau operasi yang harus dilaksankan di luar negeri, pemerintah Libya akan membayarnya. Uang dari penjualan minyak langsung disetorkan ke setiap rekening warga Libya berdasarkan pendapatan minyak. Bangsa Libya mengatur dirinya dengan “Buku Hijau”, yaitu bentuk demokrasi langsung yang berdasarkan konsep konstitusi Afrika dimana rakyat adalah sumber kekuatan yang pertama dan terakhir.
Bagi bangsa Libya, krisis Libya lebih besar taruhannya dari sekedar apakah Khadafy tetap memimpin atau disingkirkan. Kekuatan yang sama yang berhasil mempartisi Sudan sedang berusaha keras memecah Libya tidak hanya berdasarkan suku-suku, tetapi juga membaginya berdasarkan Afrika Arab dan Afrika Bantu. Sebelumnya, telah dilakukan di Mauritania, Sudan dan kini dicoba di Libya.
Kembali ke pertanyaan utamanya: Siapa yang memberikan hak kepada Amerika Serikat dan Eropa untuk campur tangan dalam masalah dalam negeri sebuah negara berdaulat di Afrika? Bukankah sudah waktunya kita berhenti ditipu dengan kebohongan-kebohongan dan kelicikan-kelicikan Amerika Serikat dan Eropa yang ditiup oleh kelompok oligarki yang menguasai media massa juga. Pemerintahan demokrasi yang mereka miliki tidaklah lebih baik dari pemerintahan diktatorial yang mereka nistakan. Paling tidak, dalam negara diktatorial masyarakat tahu siapa orang yang berwenang yang bisa ditimpakan tanggung jawab kepadanyanya. Sedangkan, dalam pemerintahan demokrasi tikus-tikus oligarkinya bersembunyi dan tidak dapat disingkirkan.
No comments:
Post a Comment